Putusan Pengadilan Pajak secara tegas menyoroti kegagalan aparat pajak dalam menegakkan prinsip perpajakan substantif, khususnya dalam konteks PPN di sektor manufaktur. Sengketa ini melibatkan PT SB yang mengajukan banding terhadap koreksi Dasar Pengenaan Pajak PPN senilai yang dilakukan oleh DJP. Inti konflik sengketa ini berkutat pada metodologi penetapan PPN Keluaran, di mana DJP berupaya menambah DPP PPN hanya berdasarkan hasil pengujian arus fisik bahan baku benang yang diklaim sebagai penjualan BKP yang belum dilaporkan. Putusan Majelis Hakim yang mengabulkan seluruhnya permohonan banding ini menjadi preseden penting mengenai batas wewenang koreksi PPN.
Pokok sengketa bermula ketika DJP, melalui pemeriksaan, melakukan uji arus barang terhadap bahan baku benang milik PT SB untuk Masa Pajak Agustus 2018. Pemeriksa menduga terdapat selisih (kekurangan) benang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam laporan produksi dan persediaan, dan secara sepihak mengasumsikan selisih ini sebagai penjualan Barang Kena Pajak (BKP) yang terutang PPN tetapi belum dilaporkan. Akibatnya, DJP menetapkan koreksi DPP PPN. PT SB dengan keras membantah koreksi tersebut. Argumen krusial PT SB adalah bahwa PPN merupakan pajak atas konsumsi yang dipungut berdasarkan penyerahan BKP/JKP yang didukung oleh Faktur Pajak yang sah. Perhitungan PPN Keluaran tidak dapat hanya didasarkan pada selisih stok fisik bahan baku, karena hal itu merupakan ranah penghitungan Harga Pokok Penjualan (HPP) dalam PPh, bukan penentuan DPP PPN. Lebih lanjut, PT SB berhasil membuktikan bahwa perhitungan arus barang versi DJP mengandung kesalahan atas selisih pemakaian benang yang sebenarnya adalah nihil.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim secara eksplisit memegang prinsip burden of proof. Majelis menyatakan bahwa DJP, sebagai pihak yang melakukan koreksi, wajib membuktikan kebenaran dan keabsahan koreksi tersebut dengan fakta dan dasar hukum yang kuat. Setelah menelaah bukti-bukti dari kedua belah pihak, Majelis meyakini bahwa DJP gagal menyajikan bukti konkret adanya penyerahan BKP yang dikoreksi (seperti identitas pembeli, tanggal transaksi, atau Faktur Pajak yang seharusnya terbit). Ketiadaan bukti penjualan yang sah menjadikan koreksi DPP PPN tersebut tidak berdasar. Majelis juga mengafirmasi bahwa perhitungan tandingan yang disajikan PT SB, yang menunjukkan selisih pemakaian benang adalah nol disajikan dengan lengkap sehingga lebih meyakinkan pandangan majelis. Dengan Demikian, Majelis Hakim memperoleh keyakinan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini.